Kamis, 26 April 2012

Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi

SANGKAR TORAK




Sangkar torak manusia memeliki fungsi sebagai perlindungan organ-organ penting dari respirasi yaitu paru-paru serta sirkulasi yaitu jantung, selain itu juga melindungi organ lain seperti liver dan perut. Sangkar torak bagian belakang dibentuk oleh 12 vertebra thoracalis dan 12 pasang costa bagian posterior. Sedangkan bagian depan dibentuk oleh sternum dan cartilago costa, serta bagian lateralnya dibentuk oleh costa. Pada saat bayi baru lahir, bentuk thorak hampir circular, selama pertumbuhannya dari anak-anak sampai dewasa akan berkembang menjadi lebih elliptical, dimana diameter lateral lebih lebar dibandingkan dengan diameter antero-posteriornya. (Dean, 1996).

Sebagian besar dari sangkar torak dibentuk oleh tulang-tulang costa. Tujuh costa yang pertama pada bagian posterior berhubungan langsung dengan collumna vertebralis, sedang pada bagian depan melalui cartilago costae akan melekat pada sternum. Tiga costae berikutnya, cartilago costanya akan melekat pada cartilago costae diatasnya, sedang dua tulang costa terakhir tidak melekat pada tulang costa diatasnya.


Masing-masing costae mempunyai kepala dan leher yang pendek yang akan berartikulasi dengan vertebra. Kepala costae 2-10 akan berartikulasi dengan dua vertebrae thoracalis yang berdekatan beserta diskus intervertebralisnya yang membentuk sendi costovertebral joint. Costa 1,11 dan 12 berartikulasi hanya dengan satu vertebrae pada cospusnya, yang akan membuat persendian ini lebih mobile. Tuberculum costae 1-10 akan berartikulasi dengan permukaan depan dari processus transversus dan membentuk persendian yang disebut costotransvers joint. (Crane, 1992)


Beberapa otot pernafasan yang melekat pada dinding dada antaralain:



a. Otot-otot inspirasi
  • M. intercostalis externus
  • M. levator costae
  • M. serratus posterior superior
  • M. scalenus 
  • Diafragma
b. Otot-otot ekspirasi
  • M. intercostalis internus
  • M. transversus thoracis
  • M. serratus posterior inferior
  • M.subcostalis.

saat inspirasi yang bekerja adalah otot-otot inspirasi yaitu yang paling utama adalah Diafragma yang melawan daya elastik recoil dari paru dan torak. saat ekspirasi yang bekerja adalah otot-otot inspirasi yang bekerja secara memanjang sedangkan otot-otot ekspirasi bekerja saat elastisitas dari paru menghilang.

PARU-PARU

Dalam inspeksi secara kasar, paru-paru berbentuk seperti tanduk dan dilapisi oleh pleura visceralis. Paru kanan sedikit lebih besar bila dibandingkan paru kiri dan dibagi menjadi tiga bagian ( Lobus atas, lobus tengah dan lobus bawah) oleh fissura oblique dan horisontal. Sedang paru kiri hanya terdiri dari dua lobus (Lobus atas dan lobus bawah) yang dipisahkan oleh fissura oblique. Lobus-lobus ini, kemudian akan terbagi lagi menjadi beberapa bronchopulmonary segmen.

Saluran napas, pleura dan jaringan connective paru paru mendapatkan vaskularisasi dari sirkulasi sistemik dari arteria bronchialis. Sedangkan alveoli mendapatkan perfusi dari sirkulasi pulmonal

Paru-paru dan saluran napas, mendapatkan innervasi dari pleksus pulmonalis. Pleksus ini dibentuk oleh percabangan-percabangan symphatic trunk dan n.vagus. Disamping itu terdapat pula serabut syaraf inhibisi nonadrenergic dan noncholinergic yang terdapat di otot-otot polos pada saluran napas.
Paru-paru (pulmo) dibentuk oleh parenchyma yang berada bersama-sama dengan bronchus dan percabangan-percabangannya. Bentuk menyerupai konus, dipengaruhi oleh organ-organ yang berada di sekitarnya. Pada facies mediastinalis pulmo, pars mediastinalis ditutupi oleh pleura mediastinalis, berbatasan dengan pericardium membentuk impressio cardiaca (lebih cekung pada pulmo sinister).

Di sebelah dorso-cranial impressio tersebut terdapat hilus pulmonis, yaitu tempat keluar masuk struktur-struktur ke dan dari pulmo. Struktur-struktur tersebut adalah bronchus, arteria pulmonalis, vena pulmonalis, arteria dan vena bronchialis, plexus nervosus pulmonalis serta pembuluh-pembuluh lymphe dan lymphonodus bronchialis. Struktur-struktur diatas yang membentuk radix pulmonis.

a) PULMO DEXTER

Terdiri atas tiga buah lobus, yaitu (1) lobus superior, (2) lobus medius dan (3) lobus inferior, yang dibagi oleh dua buah incisurae interlobares.

Fissure horinzontalis memisahkan lobus superior daripada lobus medius, terletak horizontal, ujung dorsal bertemu dengan fissura oblique, ujung ventral terletak setinggi pars cartilaginis costa IV, dan pada facies mediastinalis fissura tersebut melampaui bagian dorsal hilus pulmonis. Lobus medius adalah yang terkecil daripada lobus lainnya, dan berada di bagian ventro caudal. Morfologi pulmo dexter lebih kecil daripada sinister, tetapi lebih berat dan total kapasitasnya pun lebih besar.

b) PULMO SINISTER

Terdiri atas dua buah lobus, yaitu (1) lobus superior dan (2) lobus inferior, yang dipisahkan oleh fissure obliqua, (= incisura interlobis); fissura tersebut meluas dari facies costalis sampai pada facies mediastinalis, baik disebelah cranial maupun di sebelah caudal hilus pulmonis. Fissura obliqua dapat diikuti mulai dari hilus, berjalan ke dorso-cranial, menyilang margo posterior kira-kira 6 cm dari apex pulmonis, lalu berjalan ke arah caudo-ventral facies costalis menyilang margo inferior, dan kembali menuju ke hilus pulmonis. Dengan demikian maka pada lobus superior apex pulmonis, margo anterior, sebagian dari facies costalis dan sebagian besar dari facies mediastinalis.

Lobus inferior lebih besar daripada lobus superior, dan meliputi sebagian besar dari facies costalis, hampir seluruh facies diaphragmatica dan sebagian dari facies mediastinalis (bagian dorsalnya).

Bronchus dexter mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan terletak lebih vertikal daripada bronchus sinister. Letak lebih vertikal oleh karena desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda asing mudah masuk ke dalam bronchus dexter. Bronchus sinister memiliki diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya lebih panjang daripada bronchus dexter.

PLEURA

Pertukaran gas yang efektif dalam paru-paru hanya akan terjadi jika paru-paru dapat mengembang untuk mempertahankan ventilasi yg adekuat. Pleura yg merupakan lapisan yg menyelimuti paru-paru mempunyai peran yg penting dalam membantu ventilasi yang adekuat tersebut. Pleura terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan yang paling luar disebut pleura parietalis dan yang dalam disebut pleura visceralis, dimana kedua lapisan ini membentuk suatu ruangan yang disebut cavum pleurae. Dalam cavum pleurae terdapat suatu cairan pleura + 10 ml, yang diproduksi oleh membran pleura. Cairan tersebut berfungsi untuk melicinkan permukaan pleurae dan mengurangi friksi antara pleura parietalis dan visceralis selama pernapasan. Tekanan dalam cavum pleura senantiasa dalam keadaan negatif dan berfungsi untuk mempertahankan alveolus tetap mengembang melalui mekanisme suctioning diantara dua membran pleura.

Tekanan intrapleural sedikit berbeda beda selama siklus ventilasi. Sebelum inspirasi, tekanan intrapleural kurang lebih –5cm H2O. Sedang selama inspirasi, dinding thorak akan mengembang, yang menyebabkan tekanan intrapleural akan turun mencapai + -8 cm H2O yang memungkinkan udara dari luar masuk ke dalam paru-paru. Selama ekspirasi tekanan intrapleural akan turun mencapai + -4 cmH2O, hal ini akan menyebabkan keluarnya udara dari paru-paru.

Adanya cairan atau udara yang masuk ke dalam cavum pleura dapat menyebabkan hilangnya tekanan negatif, sehingga paru-paru pada sisi yang terkena akan collaps sebagaian atau seluruhnya.

SALURAN NAPAS

Saluran napas secara konsep dapat dibagi menjadi dua, yaitu
  • Bagian konduksi (Hidung, pharynx, larynx, trachea, bronchi dan bronchiolus)
  • Bagian respirasi (Bagian ujung dari cabang-2 Broncheolus & alveoli)
Sedangkan pada zona transisi, merupakan area yang memisahkan bagian konduksi dan respirasi yang terdiri dari respiratory bronchiolus.

Dalam saluran napas, khususnya pada area konduksi (dead space) udara akan masuk dengan cepat akibat perbedaan tekanan yang diciptakan oleh otot-otot pernapasan dan elastik recoil dari paru-paru. Pada saat memasuki area respirasi, total luas penampang dari saluran napasnya meningkat secara tajam, hal ini menyebabkan kecepatan gerak dari arus udara menjadi melambat, sehingga akan memberi kesempatan gas gas untuk berdifusi dari alveoli menuju kapiler.

Udara inspirasi akan masuk ke paru-paru melalui hidung atau mulut. Di dalam hidung udara yang masuk akan mendapatkan proses humidifikasi alamiah, yaitu di lembabkan dan di hangatkan, disamping itu juga disaring oleh bulu-bulu hidung serta adanya bentuk saluran di hidung yang berkelok kelok serta dilapisi oleh mukosa. Proses ini berfungsi untuk menjaga paru-paru dari kerusakan yang disebabkan oleh udara yang kering kotoran kotoran yang berbahaya. Proses ini sering dikenal dengan istilah “defence mechanism”.

Setelah memasuki hidung secara berturut-turut udara inspirasi akan melalui Pharynx yang terbagimenjadi: (1) nasopharynx; (2) Oropharynx; (3) Laryngopharynx. Selanjutnya udara inspirasi akan masuk Larynx, trachea, Bronchus utama dan percabangannya, broncheolus-broncheolus dan akhirnya sampailah pada alveoli yang merupakan tempat terjadinya pertukaran gas.

Trachea, dikenal sebagai struktur yang membedakan antara saluran napas atas dan saluran napas bawah. Trachea merupakan kelanjutan dari larynx dan terdiri atas cilia pseudostratified, epithel collumnar yang berisi sel-sel goblet dan glandula mukosa/seromucinous. Glandula seromucimous menghasilkan cairan/jelly yang melapisi cilia. Jika cilia bergerak, maka lapisan jelly tadi akan bergerak menuju ke proximal yang membawa kotoran-kotoran yang tertangkap oleh lapisan jelly tadi. Proses ini dikenal dengan istilah “mucocilliary transport” atau “mucocilliary clearance” atau mucocilliary escalator” yang merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tubuh (defences mechanism).

Trachea dibentuk oleh ring-ring cartilago yang berjumlah antara 16 sampai dengan 20, berbentuk seperti sepatu kuda dan dihubungkan oleh otot polos. Ring-ring cartilago tersebut mensupport bagian depan dan samping, sedang bagian posteior ditutupi oleh otot-otot polos. Di carina, trachea bercabang menjadi dua, yaitu: (1) Bronchus utama kanan dan (2)Bronchus utama kiri, yang keduanya secara berturut-turut akan bercabang-cabang membentuk lobus dan segment-segment.

Percabangan bronchus utama yang sebelah kiri, membentuk sudut dengan trachea lebih tajam serta lebih panjang bila dibandingkan dengan yang kanan. Bentuk yang demikian ini menyebabkan memungkinkan aspirasi lebih mudah ke sisi kanan dari pada ke bronchus kanan. Dinding bronchus tersusun atas lempeng-lempeng cartilago yang tidak beraturan yang dihubungkan oleh otot-otot polos. Dindingnya terisi oleh sel-sel epithel yang merupakan kelanjutan dari trachea. Semakin mendekati ke sisi bronchus, lempengan-lempengan cartilago semakin menipis, sebaliknya, otot-otot polos dan serabut-serabut elastis menjadi lebih menonjol yang akan berpengaruh pada diameter dari bronchus. Sedang pada bronchiolus, tidak ditemukan adanya cartilago dan glandula mukosa, sedang sel goblet jumlahnya menurun. Disamping itu epithel pseudostratified aagan diganti dengan sel epithel cuboid yg bercilia, yang semakin mendekati ke arah alveoli cilianya semakin menghilang. Pada bronchiolus ini dapat kita temui adanya aalveolar macrophage yang berfungsi untuk memfagosit partikel-partikel kecil yang tidak tersaring. Ini juga merupakan bagian dari “defences mechanism”.

Ductus alveolus dibentuk oleh cabang-cabang dari broncheolus respiratorius. Dinding ductus alveolus disusun oleh serabut elastic dan serabut otot polos yg tipis. Lapisan ini lama-lama berkurang dan hanya tinggal epithel cuboid yg pendek. Ductus alveolus ini berakhir dengan beberapa alveolar sacs (kantung-kantung alveolus).

FISIOLOGI PERNAPASAN

Pernapasan adalah unik. Kebanyakan dari kita jarang yang memperhatikannya, karena pernapasan dapat terjadi secara automatis (tanpa disadari), namun pernapasan juga dapat terjadi dengan disadari (voluntary) misalnya ketika kita sedang berlatih pernapasan, bahkan pada saat seseorang tidak sadarpun, pernapasan masih juga berjalan. Pemahaman terhadap kerja dari sistem respirasi dapat menjadikan dasar bagi penalaran/logika dalam melakukan praktik. Dengan kata lain dengan memahami bagaimana sistem respirasi bekerja, maka problematika pasien dapat ditegakkan dengan tepat dan pemberian terapi yang efektif dapat diselenggarakan.

Fungsi utama dari sistem respirasi adalah pertukaran gas, dimana oksigen akan diambil dari alveolus dan akan dibawa oleh haemoglobin menuju ke jaringan yang akan diperlukan dalam proses metabolisme, disisi lain carbondioksida, sebagai hasil sisa dari metabolisme akan dibuang melaui pernapasan saat ekspirasi. Jika mekanisme tersebut berjalan baik, maka oksigen dalam pembuluh darah arteri, karbondioksida dan kadar pH akan tetap dalam batas-batas normal pada berbagai macam kondisi fisiologis yang berbeda. Untuk dapat memahami kerja dari istem respirasi, maka berikut ini secara berturutan akan dibahas tentang: (1) Definisi dari ventilasi, volume paru dan dead space/ruang rugi; (2) Distribusi ventilasi/gas; (3) Mekanika pernapasan; (4) Difusi; (5) Perfusi; (6) Ratio ventilasi/perfusi.

sumber :
materi kuliah FT D kardio pulmo pak. Nur Basuki, M. Physio

Teknik PNF

PNF atau “Proprioceptive Neuromuscular Facilitation” merupakan metode gerakan kompleks. PNF berarti bahwa peningkatan dan fasilitasi neuromuscular dengan sendirinya, sehingga memerlukan blocking yang berlawanan. Dalam proses ini, reaksi mekanisme neuromuscular dimanfaatkan, difasilitasi, dan dipercepat melalui stimulasi reseptor-reseptor. Penggunaan gerakan kompleks berdasarkan pada prinsip-prinsip stimulasi organ neuromuscular dengan bantuan tambahan dari seluruh gerakan. Reseptor-reseptor dalam otot dan sendi merupakan elemen penting dalam stimulasi sistem motorik.


PRINSIP-PRINSIP DASAR TEKNIK PNF
Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar yang dapat meningkatkan reaksi yang diinginkan dan digunakan untuk mencapai fungsi yang optimal.

Teknik Menggenggam
Secara tepat dapat dihitung dan diaplikasikan teknik menggenggam dari terapis untuk menentukan strength (kekuatan) gerakan kompleks yang dihasilkan.

Stimulasi verbal dan visual
Secara sederhana, instruksi yang jelas dapat mengurangi kerja terapis. Pasien harus melihat dan berpartisipasi melakukan gerakan yang dicontohkan terapis.

Kompresi dan Traksi
Kompresi menyebabkan permukaan sendi saling merapat, traksi dapat menggerakkan permukaan sendi saling menjauhi. Reseptor-reseptor akan terangsang. Traksi dapat memfasilitasi gerakan pada sistem otot ; kompresi dapat meningkatkan stabilitas.

Tahanan maksimal
Hukum “all or nothing” dalam kontraksi otot terlibat dalam teknik ini. Tahanan isometrik dan/atau isotonik dapat digunakan dalam teknik ini. Tahanan yang maksimal ditentukan oleh strength (kekuatan) otot dari setiap pasien.

Rangkaian Aksi Otot yang tepat
Ketika otot berkontraksi dalam suatu rangkaian yang tepat, maka group otot yang tegang akan mengatasi tuntutan yang terjadi dengan optimal efektifitas. Waktu yang tepat dapat berperan penting baik pada gerakan kompleks maupun pada olahraga.
Ada 3 komponen gerakan yang mengambil bagian dari setiap pola gerak spiral dan diagonal :
   Fleksi atau ekstensi
  Adduksi atau abduksi
  Eksternal atau internal rotasi
Eksternal rotasi digunakan dalam kombinasi dengan supinasi, dan internal rotasi digunakan kombinasi dengan pronasi. Variasi teknik gerakan kompleks dapat memperbaiki implementasi dan efektifitas sistem muskuloskeletal. Urutan gerakan pada olahraga spesifik dapat dikombinasikan dengan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak memukul pada handball atau menembak bola pada sepakbola.

Tahanan langsung
Hal ini melibatkan tahanan optimal untuk seluruh durasi gerakan; tahanan ini bergantung pada gerakan alamiah yang beragam.

Kontraksi yang berulang
Kontraksi statik dan dinamik terlibat secara bergantian. Strength (kekuatan) otot diperbaiki, khususnya pada area genggaman tahanan, ROM, dan endurance (daya tahan).

Teknik yang Digunakan Dalam PNF

a. Rhythmical Initiation
Teknik yang dipakai untuk agonis yang menggunakan gerakan-gerakan pasif, aktif, dan dengan tahanan.

Caranya ;
• terapis melakukan gerakan pasif, kemudian pasien melakukan gerakan aktif seperti gerakan pasif yang dilakukan terapis, gerakan selanjutnya diberikan tahanan, baik agonis maupun antagonis patron dapat dilakukan dalam waktu yang tidak sama
Indikasi ;
• problem permulaan gerak yang sakit karena rigiditas, spasme yang berat atau ataxia, ritme gerak yang lambat, dan keterbatasan mobilisasi.

b. Repeated Contraction
Suatu teknik dimana gerakan isotonic untuk otot-otot agonis, yang setelah sebagian gerakan dilakukan restretch kontraksi diperkuat.

Caranya ;
• Pasien bergerak pada arah diagonal, pada waktu gerakan dimana kekuatan mulai turun, terapis membeikan restretch, pasien memberikan reaksi terhadap restretch dengan mempertinggi kontraksi, terapis memberikan tahanan pada reaksi kontraksi yang meninggi., kontraksi otot tidak pernah berhenti, dalam satu gerakan diagonal restretch diberikan maksimal empat kali.

Skema repeated contraction (by. Yulianto Wahyono, Dipl. PT)
c. Stretch reflex
Bentuk gerakan yang mempunyai efek fasilitasi terhadap otot-otot yang terulur.

Caranya ;
• Panjangkan posisi badan (ini hanya dapat dicapai dalam bentuk patron), tarik pelan-pela kemudian tarik dengan cepat (tiga arah gerak) dan bangunkan stretch reflex, kemudian langsung berikan tahanan setelah terjadi stretch reflex, gerakan selanjutnya diteruskan dengan tahanan yang optimal, berdasarkan aba-aba pada waktu yang tepat.

d. Combination of isotonics
Konbinasi kontraksi dari gerak isotonic antara konsentris dan eksentris dari agonis patron (tanpa kontraksi berhenti) dengan pelan-pelan.

e. Timing for Emphasis
bentuk gerakan dimana bagian yang lemah dari gerakan mendapat ekstra stimulasi bagian yang lebih kuat.
Caranya ; pada suatu patron gerak, bagian yang kuat ditahan dan bagian yang lemah dibirkan bergerak.

f. Hold relax
Suatu teknik dimana kontraksi isometris mempengaruhi otot antagonis yang mengalami pemendekan, yang akan diikuti dengan hilang atau kurangnya ketegangan dari otot-otot tersebut.
Caranya ;
  • Gerakan dalam patron pasif atau aktif dari group agonis sampai pada batas gerak atau sampai timbul rasa sakit,
  • Terapis memberikan penambahan tahanan pelan-pelan pada antagonis patron, pasien harus menahan tanpa membuat gerakan. Aba-aba =” tahan di sini !”
  • Relaks sejenak pada patron antagonis, tunggu sampai timbul relaksasi pada group agonis, gerak pasif atau aktif pada agonis patron, ulangi prosedur diatas, penambahan gerak patron agonis, berarti menambah LGS.

g. Contract relax
Suatu teknik dimana kontraksi isotonic secara optimal pada otot-otot antagonis yang mengalami pemendekan.
Caranya ;
  • Gerakan pasif atau aktif pada patron gerak agonis sampai batas gerak.
  • Pasien diminta mengkontraksikan secara isotonic dari otot-otot antagonis yang mengalami pemendekan. Aba-aba =”tarik !” atau “dorong !”
  • Tambah lingkut gerak sendi pada tiga arah gerakan, tetap diam dekat posisi batas dari gerakan, pasien diminta untuk relaks pada antagonis patron sampai betul-betul timbul relaksasi tersebut, gerak patron agonis secara pasif atau aktif, ulangi prosedur diatas, dengan perbesar gerak patron agonis dengan menambah LGS.

h. Slow Reversal
Teknik dimana kontraksi isotonic dilakukan bergantian antara agonis dan antagonis tanpa terjadi pengendoran otot.Caranya ;
  • Gerakan dimulai dari yang mempunyai gerak patron yang kuat
  • Gerakan berganti ke arah patron gerak yang lemah tanpa pengendoran otot
  • Sewaktu berganti ke arah patron gerakan yang kuat tahanan atau luas gerak sendi ditambah.
  • Teknik ini berhenti pada patron gerak yang lebih lemah
  • Aba-aba di sini sangat penting untuk memperjelas ke arah mana pasien harus gbergerak. Aba-aba “dan … tarik !” atau “dan dorong !”
  • Teknik ini dapat dilakukan dengan cepat.
  • Tidak semua teknik PNF dapat diterapkan pada penderita stroke. Teknik-teknik yang dapat digunakan adalah ; rhythmical initiation, timing for emphasis, contract relaz dan slow reversal.
sumber :
www.infofisioterapi.com/blog/teknik-pnf.html
herdinrusli.wordpress.com

Selasa, 24 April 2012

Cerebral Palsy

DEFINISI CEREBRAL PALSY

Cerebral Palsy adalah kondisi neurologis yang terjadi permanen tapi tidak mempengaruhi kerusakan perkembangan saraf karena itu bersifat non progresif pada lesi satu atau banyak lokasi pada otak yang immatur (Campbell SK et al, 2001)

Cerebral Palsy adalah gangguan postur dan kontrol gerakan yang bersifat non progressif yang disebabkan oleh kerusakan atau kelumpuhan sistem saraf pusat (Nelson & Ellenberg, 1982)

Cerebral Palsy adalah suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif oleh karena suatu kerusakan atau gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang sedang tumbuh atau belum selesai pertumbuhannya. (Bax, dikutip oleh Soetjiningsih, 1998)

Cerebral Palsy adalah gangguan pada otak yang bersifat non progresif.gangguan ini dapat disebabkan oleh adanya lesi atau gangguan perkembangan pada otak ( Shepered,1995 )

Cerebral Palsy adalah akibat dari lesi atau gangguan perkembangan otak bersifat non progresif dan terjadi akibat bayi lahir terlalu dini ( prematur). Defisit motorik dapat ditemukan pada pola abnormal dari postur dan gerakan ( Bobath, 1996)
Berdasarkan Penjelasan di atas Cerebral Palsy Spastic Quadriplegia adalah gangguan postur dan kontrol gerakan yang bersifat non progresif yang disebabkan oleh karena lesi atau perkembangan abnormal pada otak yang sedang tumbuh atau belum selesai pertumbuhannya yang ditandai dengan meningkatnya reflek tendon, stertch reflek yang berlebihan, hiperkontraktilitas otot pada keempat ekstremitas dan klonus yang terjadi pada anggota gerak bawah.

KLASIFIKASI 


1. Berdasarkan area yang mengalami impairment (Scherzer & Tscharnuter, 1990)
  • Monoplegia : kelemahan pada satu ekstremitas 
  • Hemiplegia : kelemahan pada satu sisi tubuh, ekstremitas atas dan bawah tetapi ekstremitas atas lebih berat 
  • Triplegia : kelemahan pada kedua ekstremitas bawah dan satu sisi ekstremitas atas 
  • Diplegia : kelemahan pada keempat ekstremitas tetapi ekstremitas bawah lebih berat 
  • Kuadriplegia : kelemahan pada keempat ekstremitas.
2. Berdasarkan gejala klinis dan fisiologis gangguan gerak ( Sanger et al, 2003; Molnar GE, 1992; Nelson 1989)
  • Spastik 
      Ditandai dengan adanya kekakuan pada sebagian atau seluruh otot. Letak kelainan Cerebral Palsy jenis ini ada di tractus pyramidalis (motor cortex). Anak cerebral palsy jenis spastik dibedakan menjadi empat tipe, yaitu spastik hemiplegia, spastik paraplegia, spastik diplegia, dan spastik quadriplegia. 
  • Diskinesia 
      Ditandai dengan tidak adanya kontrol dan koordinasi gerak. Yang termasuk dalam kelompok diskenisia adalah athetoid, rigid, hipotonia, dan tremor. 

1) Athetoid 

Letak kelainannya pada basal ganglion. Cerebral Palsy jenis ini tidak terdapat kekakuan pada tubuhnya, tetapi terdapat gerakan-gerakan yang tidak terkontrol (involuntary movement) yang terjadi sewaktu-waktu. Gerakan ini tidak dapat dicegah, sehingga dapat mengganggu aktivitas. Gerakan otomatis tersebut terjadi pada tangan, kaki, mata, tangan, bibir, dan kepala. 

2) Rigid 

Cerebral palsy jenis rigid ini terjadi akibat adanya pendarahan di dalam otak. Gejalanya yaitu adanya kekakuan pada seluruh anggota gerak, tangan dan kaki sehingga sulit dibengkokkan. Leher dan punggung mengalami hiperektensi. 

3) Hipotonia 

Cerebral palsy jenis ini memiliki tonus otot dan tonus postural yang rendah. 

4) Tremor 

Letak kelainannya pada substantia nigra. Gejala yang tampak yaitu adanya getaran-getaran kecil (ritmis) yang terus menerus pada mata, tangan, atau pada kepala. Getaran yang terus menerus pada anggota tubuh tersebut dapat mengganggu fungsinya, seperti getaran pada mata menyebabkan anak tidak dapat melihat dengan jelas. Begitu juga getaran pada kepala dan tangan dapat mengganggu anak berkonsentrasi dan menulis atau pada aktvitas lain yang menggunakan kepala dan tangan. 
  • Ataksia 
    Letak kelainannya pada otak kecil (cerebellum). Penderita mengalami gangguan keseimbangan. Otot-ototnya tidak kaku, tapi terkadang penderita tidak dapat berdiri dan berjalan karena adanya gangguan keseimbangan tersebut. Andaikan berjalan, langkahnya seperti orang mabuk, kadang terlalu lebar atau terlalu pendek. Hal itu menyebabkan anak tidak dapat berjalan tegak dan jalannya gontai. Koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi, sehingga anak mengalami kesulitan dalam menjangkau sesuatu ataupun akan akan mengalami kesulitan ketika makan. 
  • Campuran
    Artinya pada anak cerebral palsy terdapat dua atau lebih kelainan. Misalnya spastik dan athetosis, atau spastik dan rigid, atau spastik dan ataksia. Kecacatan tersebut tergantung pada kerusakan yang terjadi di otak. Letak kerusakan jenis ini di daerah pyramidal dan extrapyramidal. Apabila kerusakan terjadi pada pyramidal, kelainannya berbentuk spastik. Apabila terjadi di extrapyramidal kelainannya berbentuk athetosis, rigid, dan hipotonia.

ETIOLOGI 

Penyebab CP secara umum dapat terjadi pada tahap prenatal, perinatal dan post natal. 

1. Prenatal 

  Potensi yang mungkin terjadi pada tahap prenatal adalah infeksi pada masa kehamilan. Infeksi merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan kelainan pada janin, misalnya infeksi oleh toksoplasma, rubela dan penyakit inklusi sitomegalik. Selain infeksi, anoksia dalam kandungan (anemia, kerusakan pada plasenta), trauma pada abdominal, radiasi sinar-X dan keracunan pada masa kehamilan juga berpotensi menimbulkan Cerebral Palsy. 

2. Perinatal 

    Pada masa bayi dilahirkan ada beberapa resiko yang dapat menimbulkan CP, antara lain: 

a. Brain injury 

Brain injury atau cidera pada kepala bayi dapat mengakibatkan: 

1) Anoksia/hipoksia 
   Anoksia merupakan keadaan saat bayi tidak mendapatkan oksigen, yang dapat terjadi pada saat kelahiran bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan instrumen tertentu dan lahir dengan bedah caesar. 

2) Perdarahan otak 




    Perdarahan dapat terjadi karena trauma pada saat kelahiran misalnya pada proses kelahiran dengan mengunakan bantuan instrumen tertentu. Perdarahan dapat terjadi di ruang sub arachnoid. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastik. 

b. Ikterus 

Ikterus pada masa neonatal dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang permanen akibat masuknya bilirubin ke ganglia basalis, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah. 

c. Meningitis purulenta 

Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa Cerebral Palsy. 

d. Prematuritas 

Prematuritas dapat diartikan sebagai kelahiran kurang bulan, lahir dengan berat badan tidak sesuai dengan usia kelahiran atau terjadi dua hal tesebut. Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak dibandingkan bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna. 

3. Post natal 

  Pada masa postnatal bayi beresiko mendapatkan paparan dari luar yang dapat mempengaruhi perkembangan otak, yang mungkin dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada otak. Kerusakan yang terjadi pada jaringan otak setelah proses kelahiran yang mengganggu perkembangan dapat menyebabkan Cerebral Palsy, misalnya pada trauma kapitis, meningitis, ensepalitis dan luka parut pada otak pasca bedah dan bayi dengan berat badan lahir rendah.

PATOLOGI CEREBRAL PALSY

Pada Cerebral Palsy terjadi kerusakan pada pusat motorik dan menyebabkan terganggunya fungsi gerak yang normal. Pada kerusakan korteks serebri terjadi kontraksi otot yang terus menerus dimana disebabkan oleh karena tidak terdapatnya inhibisi langsung pada lengkung refleks. Sedangkan kerusakan pada level midbrain dan batang otak akan mengakibatkan gangguan fungsi refleks untuk mempertahankan postur. Mid brain ekstra piramidal dan pusat lokomotor merupakan pusat control motor primitif. Pusat ini membuat seseorang menggunakan pola primitif reflek untuk melakukan ambulasi dimana pada saat tidak terdapatnya seleksi kontrol motorik. Bila terdapat cedera berat pada sistem ekstra piramidal dapat menyebabkan gangguan pada semua gerak atau hypotoni, termasuk kemampuan bicara. Namun bila hanya cedera ringan maka gerakan gross motor dapat dilakukan tetapi tidak terkoodinasi dengan baik dan gerakan motorik halus sering kali tidak dapat dilakukan. 

Walaupun pada Cerebral Palsy gangguan yang terjadi mengenai sistem motorik tetapi pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan antara fungsi motorik dan sensorik. Sehingga pengolahan sistem sensori pada Cerebral Palsy mempunyai 2 jenis kekurangan, yaitu : 

1. Primer : Gangguan proses sensori yang terjadi berhubungan dengan gangguan gerak (pola yang abnormal) 

2. Sekunder : Gangguan proses sensori yang diakibatkan oleh keterbatasan gerak. 

Gangguan proses sensorik primer terjadi di serebelum yang mengakibatkan terjadinya ataksia. Pada keterbatasan gerak akibat fungsi motor control akan berdampak juga pada proses sensorik.

GEJALA KLINIS

Menurut Bax (dikutip dari Soetjiningsih, 1997) memberikan kriteria gejala klinis sebagai berikut :
  1. Masa neonatal dengan ciri depresi/asimetri dari refleks primitif (refleks moro, rooting, sucking, tonic neck, palmar, stepping). 
  2. Masa umur lebih dari 1 tahun dengan keterlambatan perkembangan motorik kasar seperti berguling, duduk atau jalan. 
  3. Terdapat paralisis yang dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia dan triplegia. Kelumpuhan ini mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran. 
  4. Terdapat spastisitas , terdapat gerakan-gerakan involunter seperti atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat flaksid, rigiditas, atau campuran. 
  5. Terdapat ataksia, gangguan koordinasi ini timbul karena kerusakan serebelum. Penderita biasanya memperlihatkan tonus yang menurun (hipotoni), dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Mulai berjalan sangat lambat, dan semua pergerakan serba canggung. 
  6. Menetapnya refleks primitif dan tidak timbulnya refleks-refleks yang lebih tinggi (refleks landau atau parasut). 
  7. Mungkin didapat juga gangguan penglihatan (misalnya: hemianopsia, strabismus, atau kelainan refraksi), gangguan bicara, gangguan sensibilitas. 

Gejala klinis atau ciri khas lain yang dapat ditemukan pada kasus Cerebral Plasy Spastic Quadriplegia, yaitu :
  1. Pada kasus ini Assymetrical Tonic Neck Reflex dan Moro Reflex yang harusnya sudah hilang pada usia 6 bulan, masih ada. 
  2. Pada pemeriksaan dengan posisi anak telentang, maka akan ditemukan gerakan menggunting pada tungkai karena posisi hip yang terlalu adduksi dan endorotasi. 
  3. Pada pemeriksaan dengan posisi anak duduk, maka akan ditemukan bahwa anak duduk di sacrum dengan tungkai adduksi, endorotasi, plantar fleksi dan posisi tungkai asimetri serta menggunting. 
  4. Pada kebanyakan kasus Cerebral Plasy Spastic Quadriplegia, anak berguling dan keduduk dengan flexi patron dan tanpa rotasi trunk.
PROGNOSIS

Prognosis pasien Cerebral Palsy Spastic Quadriplegia dipengaruhi beberapa faktor antara lain: 

1. Berat ringannya kerusakan yang dialami pasien. 

    Menurut tingkatannya Cerebral Palsy Spastic Quadriplegia secara umum diklasifikasikan dalam tiga tingkat yaitu 

a. Mild 
   Pasien dengan Mild Quadriplegia dapat berjalan tanpa menggunakan alat bantu seperti bilateral crutches atau walker, dan dapat bersosialisasi dengan baik dengan anak-anak normal seusianya pasien. 

b. Moderate 
   Pasien dengan Moderate Quadriplegia mampu untuk berjalan saat melakukan aktifitas sehari-hari tetapi terkadang masih membutuhkan alat bantu seperti bilateral crutches atau walker. Namun demikian untuk perjalanan jauh atau ektifitas berjalan dalam waktu yang relatif lama dan jarak tempuh yang relatif jauh, pasien masih memerkulan bantuan kursi roda, seperti pada saat berjalan-jalan ke pusat belanja, taman hiburan atau kebun binatang. 

c. Severe. 
   Sedangkan pasien dengan Severe Quadriplegia sangat tergantung pada alat bantu atau bantuan dari orang lain untuk berjalan meskipun hanya untuk mencapai jarak yang dekat, misalnya untuk berpindah dari satu ruangan ke ruangan yang lain dalam satu rumah. Pasien sangat tergantung pada kursi roda atau orang lain untuk melakukan aktifitas. 

2. Pemberian terapi pada pasien Cerebral Palsy Spastic Quadriplegia. 

    Pemberian terapi dengan dosis yang tepat dan adekuat juga berpengaruh terhadap prognosis pasien. Semakin tepat dan adekuat terapi yang diberikan semakin baik prognosisnya. 

3. Kondisi tubuh pasien. 

  Dengan kondisi tubuh yang baik akan mempermudah pasien untuk mengembangkan kemampuannya pada saat latihan sehingga pasien dapat melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri. 

4. Lingkungan tempat pasien tinggal dan bersosialisasi. 

    Peran lingkungan terutama keluarga sangat mempengaruhi perkembangan pasien, dukungan mental yang diberikan keluarga kepada pasien sangat dibutuhkan pasien tidak hanya pada saat menjalani terapi sehingga pasien bersemangat setiap kali menjalani sesi latihan tetapi juga untuk menumbuhkan rasa percaya diri pasien untuk bersosialisasi dengan dunia luar.

Sumber gambar : materi kuliah Patologi saraf dr. Agus Soedomo Sp (K)
Sumber artikel : materi kuliah pediatri

Bahu Beku (Frozen Shoulder)

Adhesive Capsulitis adalah istilah medis untuk Bahu beku (Frozen Shoulder). Ini adalah kondisi yang mempengaruhi kemampuan untuk menggerakkan bahu, dan biasanya hanya terjadi pada satu sisi.


Gejala Capsulitis Adhesive

Kondisi ini telah digambarkan dalam tiga fase, gejala akan berbeda tergantung pada fase kondisi.

The Painful (Freezing) Phase

  • Secara bertahap timbulnya nyeri bahu.
  • Berkembang nyeri secara luas, sering buruk di malam hari dan ketika berbaring pada sisi yang terkena.
  • Fase ini dapat berlangsung antara 2-9 bulan.

The Stiffening (Frozen) Phase

  • Kekakuan mulai menjadi sebuah masalah.
  • Tingkat nyeri biasanya tidak mengubah.
  • Kesulitan dengan kegiatan sehari-hari seperti berpakaian, menyiapkan makanan, membawa tas, bekerja.
  • kerugian karena penyusutan otot mungkin jelas karena kurang digunakan.
  • Tahap ini bisa bertahan antara 4-12 bulan.

The Thawing Phase

  • Secara bertahap perbaikan dalam kemampuan gerak
  • Secara bertahap penurunan nyeri, meskipun mungkin muncul kembali sebagaimanamengakibatkan kekakuan
  • Tahap ini bisa bertahan antara 5-12 bulan
Apa itu  Frozen Shoulder ?

Capsulitis Adhesive adalah istilah medis untuk bahu beku, kadang-kadang disingkat FSS (Frozen Soulder Syndrome). Ini adalah kondisi yang mempengaruhi kemampuan untuk menggerakkan bahu, dan biasanya hanya terjadi pada satu sisi. Kadang-kadang masalah dapat menyebar ke bahu lain (sekitar 1 orang dalam 5 orang).

Istilah medis secara harfiah menggambarkan apa yang dilihat dalam kondisi ini. Adhesive berarti kaku dan capsulitis berarti peradangan pada kapsul sendi. Diperkirakan bahwa banyak gejala disebabkan oleh kapsul yang menjadi meradang dan'lengket', membuat sendi kaku dan sulit untuk bergerak. Ini tidak sama dengan artritis dan tidak ada sendi lainnya biasanya terpengaruh.

Bahu beku sangatlah jarang di kalangan anak muda, dan hampir selalu ditemukan pada kelompok usia 40 +, biasanya dalam rentang usia 40-70. Sekitar 3% dari populasi akan terkena dampak ini, dengan kejadian yang sedikit lebih tinggi di antara wanita, danprevalensi lima kali lebih tinggi pada penderita diabetes.

Apa penyebabnya?

Ada dua klasifikasi dari sindrom bahu beku:
  • Primer - Tidak ada alasan yang signifikan untuk nyeri / kekakuan.
  • Sekunder - Sebagai hasil dari suatu peristiwa seperti trauma, pembedahan ataupenyakit.
Tidak diketahui persis apa yang menyebabkan masalah ini, namun diperkirakan bahwalapisan sendi (kapsul) menjadi meradang, yang menyebabkan jaringan parut terbentuk.Ini meninggalkan sedikit ruang untuk humerus (tulang lengan) untuk bergerak, makamembatasi pergerakan sendi.

Prevalensi meningkat di kalangan penderita diabetes (terutama bergantung pada insulindiabetes) mungkin karena molekul glukosa menempel pada serat kolagen dalam kapsul sendi, yang menyebabkan kekakuan. Untuk alasan ini, penderita diabetes lebih mungkinmemiliki kedua bahunya terpengaruh.

Perubahan hormon mungkin bertanggung jawab terhadap kejadian lebih tinggi di antaraperempuan, khususnya karena prevalensi meningkat sekitar periode menopause.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa postur tubuh yang buruk, terutama mengitari bahunya, dapat menyebabkan pemendekan salah satu ligamen bahu, yang juga dapat menyebabkan kondisi ini. Juga, perpanjangan imobilitas (seperti setelah patah tulang) dapat menyebabkan kondisi ini untuk berkembang.

Rabu, 18 April 2012

Pemeriksaan Khusus pada FT Neuromuskuler pusat

Kelainan/Penyakit/Gangguan pada Otak :
1. Stroke/CVA
2. Cerebral palsy
3. Head injury
4. Parkinson & kelainan ekstra piramidalis
5. Tumor intra cranial

Kelainan/Penyakit/Gangguan pada Medulla spinalis :
1. Trauma/cedera
2. Penyakit pada medulla spinalis (Multiple sclerosis, ALS)
3. Tumor & Gangguan vaskuler pada medulla spinalis
Dengan manifestasi yaitu paraplegia, tetraplegia

Pemeriksaan Khusus
Tes spesifik sesuai dengan kondisi/kelainan yang mengacu pada diagnosis medis

1. Gangguan pada Otak (head injury, stroke dll)

a. Pemeriksaan sensorik: rasa sikap & gerak (proprioceptive), sentuh (somatosensorik)
b. Spastisitas (skala asworth)
c. Gerak voluntair / gerak aktif (pola sinergis)
d. Posture
e. Koordinasi (finger to nose; heel to shin)
f. Keseimbangan (CTSIB, TUG, Functional reach, Step test, Berg)
g. Antropometri
h. Tes fungsional dasar dan aktivitas
i. Tes aktivitas fungsional (FIM, Barthel, Katz)
j. Pemeriksaan kognitif dan fungsi luhur (MMSE)
k. MMAS
l. Gait analysis
m. Home evaluation

2. Gangguan pada medulla spinalis 

a. Pemeriksaan sensorik
b. Pemeriksaan fungsi otonom
c. Pemeriksaan reflek
d. Pemeriksaan tonus & spastisitas
e. Pemeriksaan gerak voluntair
f. Koordinasi dan keseimbangan
g. LGS
h. MMT
i. Anthropometri
j. Tes fungsional dasar dan aktivitas
k. Tes aktivitas fungsional (FIM, Barthel, Katz)
l. Gait analysis
m. Home evaluation

Assessment atau pemeriksaan merupakan komponen penting dalam segala manajemen penatalaksanaan fisioterapi. Pemeriksaan ini menjadi begitu penting karena sedikitnya ada 3 alasan pokok, yaitu:
  1. Dapat mengidentifikasi masalah pasien yang akan diintervensi oleh fisioterapis, dengan kata lain menegakkan diagnosis fisioterapi. 
  2. Dapat mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada pasien dari waktu ke waktu 
    • Memberikan motivasi pada pasien 
    • Memberikan informasi tentang efektivitas terapi yang berguna untuk menentukan manajemen penatalaksanaan fisioterapi selanjutnya .
  3. Dapat dipakai sebagai alat ukur untuk menentukan biaya atau efisiensi terapi. 
Dalam memilih satu alat ukur, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

- Keluhan utama pasien atau diagnosis medis jika telah ditegakkan.
- Stadium atau kemampuan pasien saat itu.
- Kedudukan dalam tim rehabilitasi.
- Sensitivitas atau responsivitas dari alat ukur
- Validitas dan reliabilitas alat ukur
- Ceiling effect dan floor effect dari alat ukur.
- Dan lain-lain

Sering seorang fisioterapis atau grup fisioterapis dalam satu institusi memakai alat ukur yang mereka sepakati atau mereka kembangkan sendiri. Banyak pendapat bahwa asal alat ukur tersebut telah dipahami bersama dan ada keajegan diantara mereka, maka alat ukur tersebut bisa dipakai. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Walaupun bisa saja antara satu institusi dengan institusi lain menggunakan alat ukur yang berbeda untuk kasus yang sama, tetapi alat ukur yang baik tentunya harus yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya atau dengan kata lain telah terstandarisasi.

PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN

1. Tes Keseimbangan duduk

Tipe pengukuran:
mengukur dan menilai kemampuan dalam mempertahankan keseimbangan dalam posisi duduk

Alat yang dibutuhkan : stop watch dan bed
Waktu tes : 30 detik

Prosedur tes:
Pasien duduk di tepi bed, kaki tersangga, kedua tangan diletakkan di sisi tubuh dan punggung tak tersangga, selama 15 detik. Jika mampu menahan posisi ini selama 15 detik, fisioterapis menggoyang/mendorong pasien ke arah depan, belakang dan samping (dengan tenaga dorongan yang diperkirakan mampu diterima pasien), hingga waktu 30 detik berakhir.

Skor:
4 (normal) : mampu melakukan tanpa ada bantuan fisik
3 (good) : membutuhkan bantuan dari sisi tubuh yang lemah
2 (fair) : mampu mempertahankan posisi statis, tapi perlu bantuan dalam reaksi tegak
1 (poor) : tak mampu mempertahankan posisi statis tegak
Skor normal : 4

Reliabilitas : dipertanyakan
Validitas : signifikan, korelasi indek Barthel pada 1,2 dan 3 minggu pasca stroke

Keunggulan dan kelemahan :
- sederhana, cepat dan mudah dilakukan
- banyak digunakan di rumah sakit pada pasien stroke
- standarisasi gangguan dan skor dipertanyakan

2. Tes Keseimbangan berdiria. Clinical Test of Sensory Interaction of Balance (CTSIB)

Tipe pengukuran:
pengukuran terhadap kemampuan mempertahankan posisi berdiri pada keadaan berkurang atau berselisihnya-nya petunjuk sensorik.

Alat yang dibutuhkan : stop watch, foam padat, dome
Waktu tes: 6 jenis tes, masing-masing 30 detik

Prosedur tes:
Berdiri tegak tanpa alas kaki dengan kedua kaki terpisah 10 cm atau rapat. Berikan penjelasan atau contoh kepada pasien tentang tes yang akan dilakukan. Pasien berdiri tegak dan mempertahankan posisi tersebut dengan kedua tangan di samping tubuh. Fisioterapis memberikan aba-aba “mulai” bersamaan dengan menghidupkan stopwatch dan “stop” bersamaan dengan mematikan stopwatch setelah 30 detik atau saat pasien kehilangan keseimbangannya.

Jenis tes :
1. Mata terbuka; berdiri di permukaan yang keras
2. Mata tertutup; berdiri di permukaan yang keras
3. Konflik visual (memakai dome); berdiri di permukaan yang keras
4. Mata terbuka; berdiri di atas foam
5. Mata tertutup; berdiri di atas foam
6. Konflik visual (memakai dome); berdiri di atas foam

Skor normal
Umur 25-44 : mampu melakukan semua tes sesuai dengan waktu (30 detik)
Umur 45-64 : mampu melakukan semua tes sesuai dengan waktu (30 detik) dengan sedikit penurunan pada jenis tes nomor 6
Umur 65-84 : mampu melakukan/mempertahankan 30 detik untuk 3 tes pertama
29 detik untuk tes nomor 4
17 detik untuk tes nomor 5
19 detik untuk tes nomor 6

Reliabilitas : retes bagus pada pasien stroke (DiFabio R, 1990) Validitas signifikan untuk menilai perkembangan pasien stroke (Hill K, 1997)

Keunggulan dan kelemahan:
- Bermanfaat untuk menentukan jenis kelainan pada sistem sensorik, vestibular dan visual
- Merupakan tes statis dan tidak fungsional.

3. “Functional reach test”

Tipe pengukuran :
mengukur kemampuan dalam "meraih" ("reach") dari posisi berdiri tegak

Alat yang diperlukan : penanda dan penggaris
Waktu tes : 15 detik

Prosedur tes :
Posisi pasien berdiri tegak rileks dengan sisi yang sehat dekat dengan dinding; kedua kaki renggang (10 cm). Pasien mengangkat lengan sisi yang sehat (fleksi 90o). Fisioterapis menandai pada dinding sejajar ujung jari tangan pasien.
Pasien diberikan instruksi untuk meraih sejauh-jauhnya (dengan membungkukkan badan) dan ditandai lagi pada dinding sejajar dimana ujung jari pasien mampu meraih. Kemudian diukur jarak dari penandaan pertama ke penandaan yang kedua.

Skor normal
Umur 20-24; laki-laki 42 cm dan wanita 37 cm
Umur 41-69; laki-laki 38 cm dan wanita 35 cm
Umur 70-87; laki-laki 33 cm dan wanita 27 cm
Reliabilitas interrater 0.98 (bagus) pada orang normal (Duncan P, 1990)
Reliabilitas retes 0.92 (bagus) pd orang normal dan penderita Parkinson (Schenkmen, 1997).
Validitas: Signifikan, termasuk dalam menilai perkembangan pasien stroke (Hill K, 1997).

Keunggulan dan kelemahan:
- Tes sederhana, cepat dan membutuhkan peralatan minimal
- Kurang sensitif untuk menilai gannguan keseimbangan ringan-sedang

4. Timed Up and Go test

Tipe pengukuran:
Mengukur kecepatan terhadap aktivitas yang mungkin menyebabkan gangguan keseimbangan

Alat yang dibuthkan :
kursi dengan sandaran dan penyangga lengan, stopwatch, dinding
Waktu tes : 10 detik – 3 menit

Prosedur tes
Posisi awal pasien duduk bersandar pada kursi dengan lengan berada pada penyangga lengan kursi. Pasien mengenakan alas kaki yang biasa dipakai. Pada saat fisioterapis memberi aba-aba “mulai” pasien berdiri dari kursi, boleh menggunakan tangan untuk mendorong berdiri jika pasien menghendaki. Pasien terus berjalan sesuai dengan kemampuannya menempuh jaak 3 meter menuju ke dinding, kemudian berbalik tanpa menyentuh dinding dan berjalan kembali menuju kursi. Sesampainya di depan kursi pasien berbalik dan duduk kembali bersandar. Waktu dihitung sejak aba-aba “mulai” hingga pasien duduk bersandar kembali.
Tidak diperbolehkan mencoba atau berlatih terlebih dahulu.

Skor normal :
Umur 75 tahun rata-rata 8,5 detik

Reliabilitas interrater dan retes ICC=0,99 (Podsiadlo, 1991)
Validitas signifikan dan berkorelasi dengan tes-tes lain (Berg, Barthel) (berg K, 1992)

Keunggulan dan kelemahan:
- Cepat, sederhana dan peralatan minimal
- Tidak sensitif terhadap gangguan keseimbangan ringan-sedang

5. Step test

Tipe pengukuran :
pengukuran kecepatan saat bergerak dinamis naik turun satu trap dengan satu kaki

Alat yang dibutuhkan : stopwatch, blok setinggi 7,5 cm
Waktu tes: 30 detik

Prosedur tes :
Pasien berdiri tegak tak tersangga, sepatu dilepas, kedua kaki sejajar berjarak 5 cm di belakang blok. Fisioterapis berdiri di salah satu sisi pasien dengan satu kaki diletakkan di atas blok untuk stabilisasi blok. Pasien dipersilahkan memilih kaki yang mana yang menapak ke atas blok dan kaki yang menyangga berat badan. Pasien diajarkan bahwa kaki harus menapak sempurna pada blok dan kembali pada tempat semula juga dengan sempurna dan ini dilakukan secepat mungkin. Tes dimulai saat pasien menyatakan siap dengan aba-aba “mulai” dan stopwatch dihidupakan. Jumlah step dihitung 1 kali jika pasien menapak pada blok dan kembali ke tempat semula. Tes diakhiri saat stopwatch menunjukkan waktu 15 detik dengan aba-aba "stop" dan dicatat jumlah step yang dilakukan pasien. Prosedur yang sama diulangi pada kaki satunya.

Skor normal: Usia 73 tahun rata-rata 17 kali tiap 15 detik.

Reliabilitas Retes ICC>0,90 pd orang tua sehat & ICC>0,88 pd pasien stroke (Hill K, 1996).
Validitas mempunyai korelasi yang signifikan dengan tes meraih (reach test), kecepatan langkah dan lebar langkah saat jalan dan menunjukkan perkembangan pasien stroke signifikan (Hill K, 1997).

Keunggulan dan kelemahan:
- Cepat, sederhana dan peralatan minimal
- Terlihat sensitif untuk gangguan keseimbangan ringan-sedang
- Kurang sensitif untuk menilai penyebab gangguan keseimbangan pada penderita Parkinson.

6. Skala keseimbangan dari Berg (Berg Balance Scale)

Tipe pengukuran:
pengukuran terhadap satu seri keseimbangan yang terdiri dari 14 jenis tes keseimbangan statis dan dinamis dengan skala 0-4 (skala didasarkan pada kualitas dan waktu yang diperlukan dalam melengkapi tes)

Alat yang dibutuhkan :
stopwatch, kursi dengan penyangga lengan, meja, obyek untuk dipungut dari lantai, blok (step stool) dan penanda
Waktu tes: 10 – 15 menit

Prosedur tes
Pasien dinilai waktu melakukan hal-hal di bawah ini, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh Berg

1. Duduk ke berdiri
2. Berdiri tak tersangga
3. Duduk tak tersangga
4. Berdiri ke duduk
5. Transfers
6. Berdiri dengan mata tertutup
7. Berdiri dengan kedua kaki rapat
8. Meraih ke depan dengan lengan terulur maksimal
9. Mengambil obyek dari lantai
10. Berbalik untuk melihat ke belakang
11. Berbalik 360 derajad
12. Menempatkan kaki bergantian ke blok (step stool)
13. Berdiri dengan satu kaki didepan kaki yang lain
14. Berdiri satu kaki

Normal skor : 56

Reliabilitas retes dan interrater tinggi pada pasien stroke dan usia lanjut (Berg K, 1995)
Validitas mempunyai korelasi yang signifikan dengan perkembangan pasien stroke (Stevenson T, 1996)

Keunggulan dan kelemahan:
- Meliput banyak tes keseimbangan , khususnya tes fungsional baik statis maupun dinamis.
- Keterbatasan dalam menilai gangguan keseimbangan ringan-sedang

7. Tes Pastor/ tes Marsden


Tipe pengukuran :
pengukuran kemampuan untuk mempertahankan posisi terhadap gangguan dari luar


Alat yang dibuthkan : tidak ada
Waktu tes: 10 detik


Prosedur tes
Fisioterapis berdiri di belakang pasien dan memberikan tarikan secara mengejut pada bahu pasien ke belakang. Pasien yang kedua matanya tetap terbuka selama tes diinstruksikan untuk bereaksi melawan tarikan tersebut untuk mecegah agar tidak jatuh ke belakang. Respon pasien tersebut dinilai dengan skala seperti di bawah ini :

0.      tetap berdiri tegak tanpa melangkah ke belakang
1.      berdiri tegak dengan mengambil satu langkah ke belakang untuk mempertahankan stabilitas
2.      mengambil 2 atau lebih langkah ke belakang tetapi mampu meraih keseimbangan lagi
3.      mengambil beberapa langkah ke belakang tetapi tak mampu meraih keseimbangan lagi dan memerlukan bantuan terapis untuk membantu meraih keseimbangan
4.      jatuh ke belakang tanpa mencoba mengambil langkah ke belakang

Skor normal: 0-1

Reliabilitas retes tinggi pada pasien Parkinson (Smithson F, 1996)
Validitas menunjukkan validitas yang signifikan dalam membedakan orang normal dengan pasien Parkinson (Smithson F, 1998).

Keunggulan dan kelemahan:
- Sederhana, cepat
- Kesulitan dalam menstandarisasi gangguan dari luar

TES FUNGSI LENGAN DAN TANGAN

Fungsi lengan dan tangan terutama adalah untuk berinteraksi dengan lingkungan (Carr & Shepherd, 1998). Fungsi ini merupakan satu unit koordinasi (Ada etal, 1994) tidak hanya pada lengan itu sendiri tapi juga melibatkan tubuh (postural) yang membutuhkan integrasi sensorik (visual, vestibular dan somatosensorik) dan motorik (hogan & Winters, 1990). Bahkan fungsi tangan dikatakan sebagai membutuhkan koordinasi atau ketrampilan tingkat tinggi (deksteritas).

Pada penderita stroke fungsi lengan dan tangan pada sisi yang lemah sering kali terganggu dan biasanya merupakan gejala sisa (sequel) yang paling nyata.

a. Action research arm test

Tipe pengukuran :
menilai kemampuan dalam memegang, menggenggam, menjumput dan gerakan massal tangan

Alat yang dibutuhkan :
potongan kayu (blok), bola tenis, batu, gelas, tabung, mur-baut, kelereng, korek api
Waktu tes : 8 – 30 menit

Prosedur tes :
Ada 4 subtes yang dievaluasi dimana masing-masing terdiri dari satu seri tes, yaitu :
A. Memegang (grasp)
  1. Potongan kayu (blok) kubus 10 cm
  2. Blok 2,5 cm
  3. Blok 5 cm
  4. Blok 7,5 cm
  5. Bola tennis diameter 7,5 cm
  6. Batu 10 x 2,5 x 1 cm
B. Menggenggam (grip)
  1. Menuang air dari gelas ke gelas lain
  2. Tabung 2,25 cm
  3. Tabung 1 cm
  4. Memasang mur – baut
C. Menjumput (pinch)
  1. Korek api, 6 mm, jari manis dan ibu jari
  2. Kelereng, 1,5 cm, jari kelingking dan ibu jari
  3. Korek api, jari tengah dan ibu jari
  4. Korek api, jari telunjuk dan ibu jari
  5. Kelereng, jari tengah dan ibu jari
  6. Kelereng, jari telunjuk dan ibu jari
D. Gerakan kasar (gross movement)
  1. Menempatkan tangan di belakang kepala
  2. Menempatkan tangan di belakang kepala
  3. Menempatkan tangan di atas kepala
  4. Menggerakkan tangan ke mulut
Jika pasien dapat melakukan tes nomor 1 pada masing-masing sub tes (yang paling sukar) maka pasien mendapat nilai maksimal untuk sub tes itu (18 untuk A; 12 untuk B; 18 untuk C; dan 9 untuk D) dan tidak perlu melengkapi dengan komponen tes lain pada subtes itu tetapi pindah pada subtes berikutnya. Jika pasien tidak mendapat nilai maksimal untuk nomor 1, maka harus dilanjutkan pada nomor 2 (yang termudah) dan jika nomor 2 mendapat skor 0, maka dianggap skor untuk subtes itu adalah 0 dan tidak perlu melanjutkan komponen tes pada subtes itu, tetapi pindah pada subtes berikutnya. Jika nilainya 1 atau lebih maka seluruh komponen pada subtes itu harus dilakukan

Skor normal : 57

Reliabilitas interrater dan retes cukup tinggi pada pasien stroke (Lyle R, 1981)
Validitas menunjukkan korelasi yang signifikan dalam perkembangan pasien stroke (Crow J, 1989)

Keunggulan dan kelemahan :
- Mampu mencakup penilaian gerak tangan yang cukup luas
- Alat yang dibutuhkan tergolong non standar

b. Purdue Peg Board test

Tipe pengukuran :
evaluasi fungsi lengan-tangan (deksteritas; ketrampilan)

Alat yang dibutuhkan:
pin, mur-baut, papan berlobang-lobang berjajar 2 masing-0masing ada 25 lobang
Waktu tes : 5 menit

Prosedur tes: Ada 4 macam subtes yaitu :
  1. Dalam 30 detik, pasien harus memasukkan pin ke lobang sebanyak mungkin dengan tangan terpilih (skor = jumlah pin yang mampu dimasukkan ke lobang)
  2. Dalam 30 detik, pasien harus memasukkan pin ke lobang sebanyak mungkin dengan tangan tak terpilih (skor = jumlah pin yang mampu dimasukkan ke lobang)
  3. Dalam 30 detik, pasien harus memasukkan pin ke lobang sebanyak mungkin dengan menggunakan kedua tangan secara bergantian (skor = jumlah pasangan pin mampu dimasukkan)
  4. Dalam 60 detik, dengan menggunakan kedua tangan bergantian mampu menyusun pin, mur-baut (skor jumlah pin, mur-baut yang tersusun sempurna)
Skor normal pada sample 35 orang sehat usia 60-89 tahun
1. 13.0
2. 12,4
3. 10,2
4. 28,3
Reliabilitas retes ICC 0,66-0,90 pada subyek orang tua sehat (Desrosiers J, 1995)
Validitas bagus sebagai salah satu tes untuk penderita Parkinson (Baas H, 1993)

Keunggulan dan kelemahan: tes ini cepat dan sederhana, tetapi fungsi yang dievaluasi terbatas.

PEMERIKSAAN GLOBAL

Pemeriksaan global (global measure) disebut juga pemeriksaan fungsional (functional assessment) atau pemeriksaan aktivitas kehidupan sehari-hari (ADL evaluation). Tes ini sering dilakukan oleh OT, tapi dilakukan juga oleh dokter, perawat atau fisioterapis atau oleh team rehabilitasi bersama-sama, untuk menilai tingkat ketergantungan atau kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Ini menjadi penting karena tujuan akhir dari rehabililtasi (misalnya stroke) adalah pasien bisa melakukan AKS-nya, jadi merupakan komponen yang vital terutama dalam "discharge planning" dari unit rehabilitasi.
Pemeriksaan global yang lazim dipakai diantaranya adalah :

a. Indeks Barthel

Tipe pengukuran :
Mengukur kemampuan aktivitas fungsional
Alat yang dibutuhkan: Tidak dibutuhkan peralatan khusus
Waktu tes: 20 menit 

Prosedur tes
1. Pemeliharaan kesehatan diri 0 - 5
2. Mandi 0 - 5
3. Makan 0 - 10
4. Toilet (BAK & BAB) 0 - 10
5. Naik/turun tangga (trap) 0 - 10
6. Berpakaian 0 - 10
7. Kontrol BAB 0 - 10
8. Kontrol BAK 0 - 10
9. Ambulasi 0 - 15
    Kursi roda 0 - 5 (bila pasien ambulasi dengan kursi roda)
10. Transfer kursi/bed 0 - 15

Skor normal 100
Reliabilitas retes tinggi untuk pasien stroke (Shah S, 1989)
Validitas menunjukkan korelasi saat masuk & keluar RS pada penderita stroke (Shah S, 1989)

Keunggulan dan kelemahan :
- sangat lazim dipakai (meski versinya banyak)
- dipakai secara luas oleh berbagai disiplin ilmu
- nilai kadang tidak menggambarkan kemampuan riil (skor tinggi tapi mempunyai disabilitas atau handicap sedang)

b. Functional Independent Measure (FIM)

Tipe pengukuran:
aktivitas fungsional, FIM sering dipakai sebagai patokan pengukuran di dunia rehabilitasi dan alat evaluasi efektivitas dan efisiensi program
Alat yang dibutuhkan :
tidak diperlukan alat khusus (observasi)

Komponen tes:
ada 6 sub tes terdiri dari 18 jenis tes, masing-masing berskala 1-7 (atau 1-4)

Prosedur tes
Pasien dinilai saat melakukan aktivitas di bawah ini:
1. Perawatan diri
  • makan
  • berdandan
  • mandi
  • berpakaian (tubuh atas)
  • berpakaian (tubuh bawah)
  • toileting
2. Kontrol sfingter
  • kontrol BAK
  • kontrol BAB
  • Mobilitas
  • transfer (bed/kursi/kursi roda)
  • transfer (toilet)
  • transfer (bak/tub/shower)
4. Lokomosi
  • jalan atau memakai kursi roda
  • naik-turun trap
5. Komunikasi
  • komprehensif
  • ekspresi
6. Kognisi sosial
  • interaksi sosial
  • pemecahan masalah
  • memori
Skor normal 126 (skala 1-7) atau 72 (skala 1-4)

Validitas dan reliabilitas dilaporkan cukup tinggi (Carr & Shepherd , 1998)
Keunggulan dan kelemahan hampir sama dengan pemeriksaan fungsional lainnya dan harus memiliki definisi operasional yang jelas untuk tiap-tiap komponen tes dan standar nilainya.

b. Indeks Katz

Tipe pengukuran : aktivitas fungsional

Alat yang dibutuhkan : tidak diperlukan alat khusus (observasi)

Komponen tes:
ada 6 sub tes, masing-masing digolongkan sebagai mandiri atau tergantung

Prosedur tes
Pasien dinilai saat melakukan aktivitas di bawah ini:
1. Mandi
2. Berpakaian
3. Toileting
4. Transfer
5. Kontrol BAK dan BAB
6. Makan
Penilaian
A. Mandiri
B. Mandiri, kecuali 1 fungsi
C. Mandiri, kecuali mandi dan 1 fungsi lain
D. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian dan 1 fungsi lain
E. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, toileting dan 1 fungsi lain
F. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, toileting, transfer dan 1 fungsi lain
G. Tergantung
Skor normal A (mandiri)

Reliabilitas dan validitas dilaporkan bagus dan berkorelasi secara signifikan dengan tes fungsional lainnya.

Keunggulan dan kelemahan hampir sama dengan tes fungsional lainnya, hanya untuk indeks Katz dinyatakan kurang sensitif.

Pemeriksaan Tonus: Skala Ashworth yang dimodifikasi

0.      Tidak ada peningkatan tonus otot
1.      Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terasanya tahanan minimal (catch and release) pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi
2.      Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian gerakan (catch) dan diikuti dengan adanya tahanan minimal sepanjang sisa ROM, tetapi secara umum sendi tetap mudah digerakkan
3.      Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM, tapi sendi masih mudah digerakkan
4.      Peningkatan tonus otot sangat nyata, gerak pasif sulit dilakukan
5.      Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau ekstensi

Sabtu, 14 April 2012

Step Test at Home



This simple test is designed to measure your cardiovascular endurance.
Equipment 
a 12 inch high bench (or a similar sized stair or sturdy box), watch for timing minutes.

Procedure
Step on and off the box for three minutes. Step up with one foot and then the other. Step down with one foot followed by the other foot. Try to maintain a steady four beat cycle. It's easy to maintain if you say "up, up, down, down". Go at a steady and consistent pace. This is a basic step test procedure - see also other step tests

Measurement 

At the end of 3 minutes, remain standing while you immediately check your heart rate. Take your pulse for one minute (e.g. count the total beats from 3 to 4 minutes after starting the test). Go here for more information about measuring your heart rate. 

How did you go? The lower your heart rate is after the test, the fitter you are. Compare your heart rate results to the table below. Remember, these scores are based on doing the tests as described, and may not be accurate if the test is modified at all. This home step test is based loosely on the Canadian Home Fitness Test and the results below are also based from data collected from performing this test. Don't worry too much about how you rate - just try and improve your own score.

3 Minute Step Test (Men) - Heart Rate

Age
18-25
26-35
36-45
46-55
56-65
65+
Excellent
<79
<81
<83
<87
<86
<88
Good
79-89
81-89
83-96
87-97
86-97
88-96
Above Average
90-99
90-99
97-103
98-105
98-103
97-103
Average
100-105
100-107
104-112
106-116
104-112
104-113
Below Average
106-116
108-117
113-119
117-122
113-120
114-120
Poor
117-128
118-128
120-130
123-132
121-129
121-130
Very Poor
>128
>128
>130
>132
>129
>130

3 Minute Step Test (Women) - Heart Rate

Age
18-25
26-35
36-45
46-55
56-65
65+
Excellent
<85
<88
<90
<94
<95
<90
Good
85-98
88-99
90-102
94-104
95-104
90-102
Above Average
99-108
100-111
103-110
105-115
105-112
103-115
Average
109-117
112-119
111-118
116-120
113-118
116-122
Below Average
118-126
120-126
119-128
121-129
119-128
123-128
Poor
127-140
127-138
129-140
130-135
129-139
129-134
Very Poor
>140
>138
>140
>135
>139
>134

Source: Canadian Public Health Association Project (see Canadian Home Fitness Test)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

VISITOR

free counters